Pada awal tahun 1960an, para ahli biokimia dari National Institutes of Healts (NIH) Amerika mengetahui bahwa tiap protein memiliki keunikan tersendiri dalam melakukan pelipatan peptida untuk membentuk struktur 3D. Pengamatan yang dilakukan di luar sel, ketika dipanaskan, protein akan terurai (unfolding), namun pada saat dibiarkan dingin protein dapat melipat kembali (refolding). Hal ini menunjukkan bahwa pelipatan protein tidak dipengaruhi oleh molekul-molekul yang berada di dalam sel melainkan oleh asam amino-asam amino penyusunnya. Setelah itu mulai dilakukan penelitian untuk menemukan hubungan antara urutan asam amino dengan pelipatan peptida untuk membentuk struktur 3D dan dikenal dengan istilah protein-folding problem.
Penentuan struktur protein secara eksperimen dapat dilakukan dengan menggunakan metode kristalografi sinar-X dan nuclear magnetic resonance (NMR) spectroscopy. Namun untuk menentukan struktur protein dengan kedua merode tersebut memerlukan waktu yang lama dan mahal. Oleh karena itu tidak heran jika hingga saat ini struktur protein yang terdapat pada Protein Data Bank jumlahnya baru mencapai sekitar 120.000 protein dari ratusan juta atau bahkan lebih protein yang diperkirakan ada.
Dengan mengetahui struktur 3D dari protein, dapat memberikan wawasan terhadap fungsi dari protein dan juga memberikan petunjuk untuk mendesain obat baru. Untuk itu agar tidak menunggu terlalu lama, para ahli biokimia yang mendalami pemodelan protein berusaha untuk memecahkan protein-folding problem dengan bantuan komputer.
Ada dua jenis pendekatan untuk pemodelan protein:
- Membandingkan urutan asam amino protein target dengan template (protein yang memiliki urutan serupa dan sudah diketahui struktur 3D nya).
Kelemahan: Struktur yang diperoleh dari hasil eksperimen hanya menyediakan template untuk sekitar setengah dari semua protein. - Melakukkan scanning protein target untuk melihat urutan-urutan asam amino dan membandingkan dengan pola pelipatan yang sudah diketahui. Kemudian informasi pola pelipatan tersebut digunakan untuk membantu menjabarkan konfigurasi struktur 3D protein secara keseluruhan. Pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan program ab initio folding, contohnya: Rosetta
Pada suatu kompetisi internasional mengenai protein-folding, yaitu Critical Assessment of protein Structure Prediction (CASP) yang ke-11, tahun 2014, David Baker dan timnya yang berasal dari University of Washington (UW) berhasil membuat model protein yang hampir identik dengan struktur yang diperoleh dari hasil eksperimen. Protein itu bernama T0806 (Gambar 1). Saking miripnya, juri yang me-review mengirimkan email dan berkata “either someone solved the protein-folding problem, or cheated.” ^_^
Saat ini David Baker dan timnya telah menentukan sedikitnya 900 model struktur protein.
Gambar 1 |
Contoh aplikasi struktur protein dalam pembuatan obat
Virus flu memiliki banyak strain dan dapat bermutasi dengan cepat, sehingga sulit untuk menemukan molekul yang dapat menghancurkan semua jenis strain tersebut. Namun, setiap strain terdiri dari protein hemagglutinin yang berfungsi membantu menginvasi host cells, dan terdapat bagian molekul yang disebut stem yang memiliki kemiripan pada setiap strain. Baker dan tim dari Scripps Research Institute, San Diego, California, mengembangkan protein yang akan terikat pada hemagglutinin stem dan mencegah virus menginvasi sel.
Aplikasi lainnya adalah mendesain protein yang dapat memotong gluten, protein pada gandum yang menyebabkan alergi bagi penderita Celiac disease. Kemudian dapat juga mendesain protein yang dapat diisi oleh obat atau DNA atau RNA yang kemudian akan disampaikan menuju pusat infeksi/penyakit.
-Protein designers have shed nature’s constraints and are now only limited by their imagination.
“We can now build a whole new world of functional proteins,” Baker says-
Sumber: https://d2ufo47lrtsv5s.cloudfront.net/content/353/6297/338
Komentar
Posting Komentar